Meretas Literasi, Menyemai Karakter
Meretas literasi, menyemai karakter menjadi pilihan tagline atau sesanti Festival.
Lema literasi selama ini dimaknai
sebagai kemampuan membaca dan menulis. Padahal tidak hanya itu. Ia mencakup
bagaimana seseorang berkomunikasi dalam masyarakat. Literasi juga bermakna
praktik dan hubungan sosial yang terkait dengan pengetahuan, bahasa, dan budaya
(Unesco, 2003).
Maka gerakan membaca, tidak hanya cukup
pada peningkatan kemampuan seseorang dalam mengenal huruf, kata, dan kalimat
(literasi teknis). Namun berkaitan pula dengan ikhtiar mengembangkan minat
membaca (literasi fungsional) dan terutama pada ijtihad penciptaan masyarakat
berbudaya membaca (literasi budaya).
Jadi frasa meretas literasi bermakna
proses percepatan peningkatan kualitas keaksaraan. Dari keaksaraan teknis,
menuju keaksaraan fungsional, dan berlanjut ke keaksaraan budaya.
Apa saja yang harus diretas?
Pertama, jumlah dan kualitas TBM. Secara
statistik jumlah TBM yang ada sekarang ini sekitar 6000 TBM. Kelihatannya besar.
Tapi itu hanya 8 persen dari total jumlah desa dan kelurahan di Indonesia.
Berarti sejatinya masih sangat kecil. Itu pun dengan catatan semua TBM yang ada
betul-betul jalan. Ada buku, program dan pengelolanya. Belum lagi jika dilihat
lebih dalam, jalannya seperti apa. Jalan di tempat, hanya satu dua langkah,
atau bergegas. Masih berkutat pada kegiatan literasi teknis, atau sudah
fungsional dan budaya. Kalau kualifikasi itu dimasukkan, tentu jumlahnya akan
lebih sedikit lagi.
Oleh karenanya diperlukan suatu
terobosan baru agar jumlah dan kualitas TBM meningkat. Salah satunya adalah
program satu rumah satu rak buku. Yakni mendorong para keluarga kelas menengah
agar mau membuka
akses yang selebar-lebarnya pada individu, komunitas dan masyarakat luas untuk
bisa membaca dan meminjam buku yang terdapat di salah satu rak buku
perpustakaan pribadi/keluarga yang mereka punyai.
Kedua, keaksaraan dari sisi penawaran
bahan bacaan (supply). Tingginya jumlah penduduk yang melek huruf tidak
akan serta merta meningkatkan minat dan budaya membaca jika tidak dibarengi
dengan penambahan media baca, terutama buku.
Maka perlu ikhtiar khusus untuk meretas
pertambahan jumlah bacaan tersebut . Dalam konteks TBM, para pengelolanya harus
mulai menggeser pusat perhatiannya. Tidak lagi sekadar sebagai konsumen bacaan,
tapi beralih pada produsen bacaan. Caranya bisa dengan mengemas ulang sumber
informasi/bacaan yang ada, dan menulis media baca (buku) sendiri. Artinya kegiatan kelas menulis
memang harus mulai menjadi menu wajib di tiap TBM.
Keberpihakan
(pemerintah) terhadap para penulis juga termasuk upaya peretasan keaksaraan
dari sisi supply bahan bacaan. Bentuknya bisa berupa penghapusan pajak
royalti buku, pemberian beasiswa atau hibah (grant)
untuk proses riset, penulisan dan penerbitan buku, serta program—untuk
sementara sebut saja—jaring pengaman penulis (JPS). Salah satu bentuk JPS itu
misalnya berupa pemberian fasilitas asuransi kesehatan pada tiap penulis di
Indonesia.
Meretas literasi sudah. Sekarang kita
beranjak ke frasa kedua: menyemai karakter. Secara mudah frasa itu memiliki
makna bahwa hasil dari upaya peretasan literasi yang sebelumnya dilakukan itu
dapat menjadi wahana persemaian karakter untuk pengelola, anggota, dan
pengujung TBM. Menjadikan TBM sebagai sarana memupuk dan menumbuhkan
sifat, budi pekerti, kepribadian dan
watak baik seseorang.
Lewat saluran mana persemaian tersebut
dapat dilakukan?
Pertama, melalui buku-buku yang
tersedia, seyogianya mampu memenuhi kebutuhan pengunjung baik dari sisi
kualitas maupun kuantitas. Pengelola TBM secara berkala juga harus bisa membuat
daftar buku-buku yang recomended dibaca, sesuai dengan jenjang usia dan
kebutuhan pembaca. Kedua, melalui program-program yang dijalankan. Mulai dari
program yang sifatnya rutin, maupun spontan. Ketiga, dengan menjadikan tiap
pengelola TBM sebagai figur-figur yang dapat diteladani (inspiratif) oleh
lingkungan terdekat TBM tersebut berada.
TBM lahir dari kehidupan. Itu sebab ia harus senantiasa
adaptif terhadap perubahan yang tengah berlangsung di kehidupan. Dengan begitu,
kehadirannya tidak saja dapat dibaca sebagai penanda zaman, lebih dari itu
menunjukkan semangat menjawab tantangan zaman.
Dan dalam bingkai ke-Indonesia-an
sekarang ini, salah satu bentuk tantangan tersebut adalah ijtihad melahirkan
generasi yang berkarakter. Yakni
generasi yang tidak saja diliputi dengan sikap
disiplin, jujur, empati, kritis, berani berinisiatif, kreatif, mandiri
dan berderet karakter baik lainnya, tapi juga pekat dengan kesadaran berbangsa
dan bernegara.
Tidak mudah memang, menjawab tantangan
tersebut. Meskipun begitu, tetap saja kita harus mulai menjawabnya.●